Selasa, 10 Mei 2011


MENGEMBANGKAN DESAIN PENDIDIKAN ISLAM
DALAM MENGHADAPI PERUBAHAN MASYARAKAT
DI ERA MODERN

Oleh: Ali Muttaqin, S.Ag., M.Pd.I
(Dosen STAI Bahrul Ulum Tambakberas Jombang)

Abstrak

Masyarakat dan zaman senantiasa mengalami perubahan. Kompetensi sumber daya manusia (SDM) merupakan kunci untuk menghadapi perubahan. Dalam hal ini, pendidikan memiliki peran penting untuk menghadapi zaman yang terus berubah itu. Pendidikan Islam sekarang ini dihadapkan pada tantangan kehidupan manusia modern. Pendidikan Islam harus diarahkan pada kebutuhan masyarakat modern. Dalam menghadapi suatu perubahan, diperlukan suatu desain paradigma baru di dalam menghadapi tuntutan-tuntutan yang baru. Karena apabila tantangan baru tersebut dihadapi dengan menggunakan paradigma lama, maka segala usaha yang dijalankan akan memenuhi kegagalan. Untuk itu, pendidikan Islam perlu didesain untuk menjawab tantangan perubahan zaman tersebut, baik pada sisi konsepnya, kurikulum, kualitas sumber daya insaninya, lembaga-lembaga dan organisasinya, serta mengkonstruksinya agar dapat relevan dengan perubahan masyarakat tersebut. Secara makro persoalan yang dihadapi pendidikan Islam adalah bagaimana pendidikan Islam mampu menghadirkan desain atau konstruksi wacana pendidikan Islam yang relevan dengan perubahan masyarakat. Kemudian desain wacana pendidikan Islam tersebut dapat dan mampu ditransformasikan atau diproses secara sistematis dalam masyarakat. Persoalan pertama ini lebih bersifat filosofis, yang kedua lebih bersifat metodologis. Makalah ini berupaya menjawab beberapa persoalan: bagaimana karakteristik masyarakat modern, bagaimana praksis pendidikan Islam selama ini, dan bagaimana desain pendidikan Islam dalam memenuhi kebutuhan masyarakat di era modern. 

A.    Pendahuluan
Pendidikan Islam dikonsepsikan sebagai bimbingan dan pimpinan anak didik oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani anak menuju terbentuknya kepribadian yang utama.[1] Menurut Ramayulis, pendidikan Islam merupakan upaya mempersiapkan manusia agar dapat hidup dengan sempurna dan bahagia. Artinya sempurna budi pekertinya, teratur pikirannya, halus perasaannya dan mahir dalam pekerjaannya.[2] Azyumardi Azra berpendapat pendidikan Islam sebagai suatu proses penyiapan generasi muda untuk mengisi peranan, memindah pengetahuan dan nilai-nilai Islam yang diselaraskan dengan fungsi manusia untuk beramal di dunia dan memetik hasilnya di akhirat.[3]
Hasan Langgulung menteorikan tugas pendidikan Islam sebagai pengembangan potensi dan pewarisan budaya.[4] Artinya, manusia memiliki sejumlah potensi dan kemampuan, sedangkan pendidikan merupakan proses untuk menumbuhkembangkan potensi-potensi tersebut. Dalam bahasa Islam, potensi adalah “fitrah” yang meliputi fitrah agama, fitrah Intelek, fitrah sosial, fitrah susila dan fitrah ekonomi. Tugas pendidikan Islam selanjutnya adalah mewariskan nilai-nilai budaya Islami, hal ini karena kebudayaan Islam akan mati bila nilai-nilai dan norma-normanya tidak berfungsi dan belum diwariskan kepada generasi berikutnya. Dengan demikian dapat dipahami bahwa tugas pendidikan Islam adalah membantu pembinaan anak didik pada ketakwaan dan berakhlak karimah yang dijabarkan dalam pembinaan enam aspek keimanan, lima aspek keislaman dan multiaspek keihsanan. Selain itu, tugas pendidikan juga mepertinggi kecerdasan dan kemampuan dalam ilmu pengetahuan dan teknologi
Pendidikan juga merupakan proses budaya untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia yang berlangsung sepanjang hayat. Pendidikan selalu berkembang, dan selalu dihadapkan pada perubahan zaman. Untuk itu, mau tak mau pendidikan harus didesain mengikuti irama perubahan tersebut, apabila pendidikan tidak didesain mengikuti irama perubahan, maka pendidikan akan ketinggalan lajunya perkembangan zaman itu sendiri. Siklus perubahan pendidikan itu dapat dijelaskan sebagai berikut; Pendidikan dari masyarakat, didesain mengikuti irama perubahan dan kebutuhan masyarakat. Misalnya; pada peradaban masyarakat agraris, pendidikan didesain relevan dengan irama perkembangan peradaban masyarakat agraris dan kebutuhan masyarakat pada era tersebut. Begitu juga pada peradaban masyarakat industrial dan informasi, pendidikan didesain mengikuti irama perubahan dan kebutuhan masyarakat pada era industri dan informasi, dan seterusnya. Demikian siklus perkembangan perubahan pendidikan, kalau tidak, pendidikan akan ketinggalan dari perubahan zaman yang begitu cepat. Untuk itu perubahan pendidikan harus relevan dengan perubahan zaman dan kebutuhan masyarakat pada era tersebut, baik pada konsep, materi dan kurikulum, proses, fungsi serta tujuan lembaga-lembaga pendidikan.
Pendidikan Islam sekarang ini dihadapkan pada tantangan kehidupan manusia modern. Dengan demikian, pendidikan Islam harus diarahkan pada kebutuhan perubahan masyarakat modern. Dalam menghadapi suatu perubahan, diperlukan suatu desain paradigma baru di dalam menghadapi tuntutan-tuntutan yang baru, demikian kata filsuf Kuhn. Menurut Kuhn, apabila tantangan-tantangan baru tersebut dihadapi dengan menggunakan paradigma lama, maka segala usaha yang dijalankan akan memenuhi kegagalan.[5] Untuk itu, pendidikan Islam perlu didesain untuk menjawab tantangan perubahan zaman tersebut, baik pada sisi konsepnya, kurikulum, kualitas sumberdaya insaninya, lembaga-lembaga dan organisasinya, serta mengkonstruksinya agar dapat relevan dengan perubahan masyarakat tersebut.
Masyarakat dan zaman yang mengalami perubahan, baik ekonomi maupun sosial telah menempatkan pendidikan pada posisi semakin penting bagi keberhasilan masyarakat untuk menghadapi zaman yang penuh perubahan. Untuk menghadapi perubahan zaman, diperlukan sebagai kompetensi yang harus dimiliki sumber daya manusia (SDM), karena SDM itu merupakan kunci untuk menghadapi perubahan, dan SDM yang berkompeten akan meningkatkan kualitas bangsa. Karena SDM menurut Todaro, sebagai human capital a productive investmenst embodied in human persons. These includes skills, abilities, ideals, health, etc., that result from expenditures on education, on-the-job training programs, and medical care.[6]
Dalam ajaran Islam, pendidikan mendapat posisi yang sangat penting dan tinggi, karena pendidikan merupakan salah satu perhatian sentral (center attention) masyarakat. Pendidikan merupakan upaya mewariskan nilai positif yang sesuai dengan tuntutan global, yang akan menjadi penolong dan penuntun dalam menjalani kehidupan, sekaligus untuk memperbaiki nasib dan peradaban masyarakat. Tanpa pendidikan, manusia sekarang tidak akan berbeda dengan manusia masa lampau, bahkan malah lebih rendah atau jelek kualitasnya.[7] Masyarakat modern dalam suatu bangsa dapat diwujudkan dengan malalui peningkatan pendidikannya, hal itu juga berlaku bagi bangsa Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam.[8]
Dari paparan di atas, persoalan mendasar yang muncul adalah bagaimana kondisi masyarakat modern itu ? Bagaimana praksis pendidikan Islam yang telah berjalan selama ini ? dan Bagaimana desain pendidikan Islam untuk memenuhi kebutuhan masyarakat di era modern ? Makalah ini berupaya memecahkan ketiga persoalan tersebut dengan tujuan untuk mengetahui karakteristik masyarakat modern dan kecenderungan pendidikan yang dibutuhkannya, serta desain pendidikan, terutama pendidikan Islam yang relevan dengan kondisi masyarakat di era modern.         
    
B.     Karakteristik Masyarakat Modern
Pendapat Alvin Tofler dalam bukunya The Third Wave (1980) yang bercerita tentang peradaban manusia, yaitu; (1) perdaban yang dibawa oleh penemuan pertanian, (2) peradaban yang diciptakan dan dikembangkan oleh revolusi industri, dan (3) peradaban baru yang tengah digerakan oleh revolusi komunikasi dan informasi. Perubahan terbesar yang diakibatkan oleh gelombang ketiga adalah terjadinya pergeseran yang mendasar dalam sikap dan tingkah laku masyarakat.[9] Salah satu ciri utama kehidupan di masa sekarang dan masa yang akan datang adalah cepatnya terjadi perubahan dalam kehidupan manusia. Banyak paradigma yang digunakan untuk menata kehidupan, baik kehidupan individual maupun kehidupan organisasi yang pada waktu yang lalu sudah mapan, kini menjadi ketinggalan zaman.[10] Secara umum masyakarat modern adalah masyarakat yang proaktif, individual, dan kompetitif.
Masyarakat modern dewasa ini yang ditandai dengan munculnya pasca industri (postindustrial society) seperti dikatakan Daniel Bell, atau masyarakat informasi (information society) sebagai tahapan ketiga dari perkembangan peradaban seperti dikatakan oleh Alvin Tofler, tak pelak lagi telah menjadikan kehidupan manusia secara teknologis memperoleh banyak kemudahan. Tetapi juga masyarakat modern menjumpai banyak paradoks dalam kehidupannya. Dalam bidang revolusi informasi, sebagaimana dikemukakan Donald Michael, juga terjadi ironi besar. Semakin banyak informasi dan semakin banyak pengetahuan mestinya makin besar kemampuan melakukan pengendalian umum. Tetapi yang terjadi justru sebaliknya, semakin banyak informasi telah menyebabkan semakin disadari bahwa segala sesuatunya tidak terkendali. Karena itu dengan ekstrim Ziauddin Sardar, menyatakan bahwa abad informasi ternyata sama sekali bukan rahmat. Di masyarakat Barat, ia telah menimbulkan sejumlah besar persoalan, yang tidak ada pemecahannya kecuali cara pemecahan yang tumpul. Di lingkungan masyarakat kita sendiri misalnya, telah terjadi swastanisasi televisi, masyarakat telah merasakan ekses negatifnya.[11]
Keprihatinan Toynbee melihat perkembangan peradaban modern yang semakin kehilangan jangkar spritual dengan segala dampak destruktifnya pada berbagai dimensi kehidupan manusia. Manusia modern ibarat layang-layang putus tali, tidak mengenal secara pasti di mana tempat hinggap yang seharusnya. Teknologi yang tanpa kendali moral lebih merupakan ancaman. Dan ancaman terhadap kehidupan sekarang tulis Erich Fromm, bukanlah ancaman terhadap satu kelas, satu bangsa, tetapi merupakan ancaman terhadap semua.[12]  
Menurut Ma'arif, bahwa sistem pendidikan tinggi modern yang kini berkembang di seluruh dunia lebih merupakan pabrik doktor yang kemudian menjadi tukang-tukang tingkat tinggi, bukan melahirkan homo sapiens. Bangsa-bangsa Muslim pun terjebak dan terpasung dalam arus sekuler ini dalam penyelenggaraan pendidikan tingginya. Kita belum mampu menampilkan corak pendidikan alternatif terhadap arus besar high learning yang dominan dalam peradaban sekuler sekarang ini. Prinsip ekonomi yang menjadikan pasar sebagai agama baru masih sedang berada di atas angin. Manusia modern sangat tunduk kepada agama baru ini.[13]
Dampak dari semua kemajuan masyarakat modern, kini dirasakan demikian fundamental sifatnya. Ini dapat ditemui dari beberapa konsep yang diajukan oleh kalangan agamawan, ahli filsafat dan ilmuan sosial untuk menjelaskan persoalan yang dialami oleh masyarakat. Misalnya, konsep keterasingan (alienation) dari Marx dan Erich Fromm, dan konsep anomie dari Durkheim. Baik alienation maupun anomie mengacu kepada suatu keadaan dimana manusia secara personal sudah kehilangan keseimbangan diri dan ketidakberdayaan eksistensial akibat dari benturan struktural yang diciptakan sendiri. Dalam keadaan seperti ini, manusia tidak lagi merasakan dirinya sebagai pembawa aktif dari kekuatan dan kekayaannya, tetapi sebagai benda yang dimiskinkan, tergantung kepada kekuatan di luar dirinya, kepada siapa ia telah memproyeksikan substansi hayati dirinya.[14]
Semua persoalan fundamental yang dihadapi oleh masyarakat modern yang digambarkan di atas, menjadi pemicu munculnya kesadaran epistemologis baru bahwa persoalan kemanusian tidak cukup diselesaikan dengan cara empirik rasional, tetapi perlu jawaban yang bersifat transendental. Melihat persoalam ini, maka ada peluang bagi pendidikan Islam yang memiliki kandungan spiritual keagamaan untuk menjawab tantangan perubahan tersebut. Fritjop Capra dalam buku The Turning Point, yang dikutip Malik Fadjar mengajak untuk meninggalkan paradigma keilmuan yang terlalu materialistik dengan mengenyampingkan aspek spritual keagamaan. Demikianlah, agama pada akhirnya dipandang sebagai alternatif paradigma yang dapat memberikan solusi secara mendasar terhadap persoalan kemanusian yang sedang dihadapi oleh masyarakat modern.[15]
Mencermati fenomena peradaban modern yang dikemukakan di atas, harus bersikap arif dalam merespons fenomena-fenomena tersebut. Dalam arti, jangan melihat peradaban modern dari sisi unsur negatifnya saja, tetapi perlu juga merespons unsur-unsur positifnya yang banyak memberikan manfaat dan mempengaruhi kehidupan manusia. Maka, yang perlu diatur adalah produk peradaban modern jangan sampai memperbudak manusia atau manusia menghambakan produk tersebut, tetapi manusia harus menjadi tuan, mengatur, dan memanfaatkan produk peradaban modern tersebut secara maksimal.

C.    Pendidikan Tradisional dan Modern
Pendidikan tradisional (konsep lama) sangat menekankan pentingnya penguasaan bahan pelajaran. Menurut konsep ini rasio ingatanlah yang memegang peranan penting dalam proses belajar di sekolah.[16] Pendidikan tradisional telah menjadi sistem yang dominan di tingkat pendidikan dasar dan menengah sejak paruh kedua abak ke-19, dan mewakili puncak pencarian elektik atas satu sistem terbaik. Ciri utama pendidikan tradisional menurut Vernon Smith sebagaimana dikutip Paulo Freire, adalah: (1) anak-anak biasanya dikirim ke sekolah di dalam wilayah geografis distrik tertentu, (2) mereka kemudian dimasukkan ke kelas-kelas yang biasanya dibeda-bedakan berdasarkan umur, (3) anak-anak masuk sekolah di tiap tingkat menurut berapa usia mereka pada waktu itu, (4) mereka naik kelas setiap habis satu tahun ajaran, (5) prinsip sekolah otoritarian, anak-anak diharap menyesuaikan diri dengan tolok ukur perilaku yang sudah ada, (6) guru memikul tanggung jawab pengajaran, berpegang pada kurikulum yang sudah ditetapkan, (7) sebagian besar pelajaran diarahkan oleh guru dan berorientasi pada teks, (8) promosi tergantung pada penilaian guru, (9) kurikulum berpusat pada subjek pendidik, (10) bahan ajar yang paling umum tertera dalam kurikulum adalah buku-buku teks.[17]
Lebih lanjut menurut Smith, pendidikan tradisional didasarkan pada beberapa asumsi yang umumnya diterima orang meski tidak disertai bukti keandalan atau kesahihan. Umpamanya: 1. ada suatu kumpulan pengetahuan dan keterampilan penting tertentu yang musti dipelajari anak-anak; 2. tempat terbaik bagi sebagian besar anak untuk mempelajari unsur-unsur ini adalah sekolah formal, dan 3. cara terbaik supaya anak-anak bisa belajar adalah mengelompokkan mereka dalam kelas-kelas yang ditetapkan berdasarkan usia mereka.[18] Ciri yang dikemukakan Smith ini juga dialami oleh pendidikan Islam di Indonesia sampai dekade ini. Misalnya, sebagian pesantren, madrasah, dan lembaga-lembaga pendidikan Islam yang lain masih menganut sistem lama, kurikulum ditetapkan merupakan paket yang harus diselesaikan, kurikulum dibuat tanpa atau sedikit sekali memperhatikan konteks atau relevansi dengan kondisi sosial masyarakat bahkan sedikit sekali memperhatikan dan mengantisipasi perubahan zaman, sistem pembelajaran berorientasi atau berpusat pada guru.
Paradigma pendidikan tradisional bukan merupakan sesuatu yang salah atau kurang baik, tetapi model pendidikan yang berkembang dan sesuai dengan zamannya, yang tentu juga memiliki kelebihan dan kelemahan dalam memberdayakan manusia, apabila dipandang dari era modern ini. Konsep pendidikan modern (konsep baru), yaitu ; pendidikan menyentuh setiap aspek kehidupan peserta didik, pendidikan merupakan proses belajar yang terus menerus, pendidikan dipengaruhi oleh kondisi-kondisi dan pengalaman, baik di dalam maupun di luar situasi sekolah, pendidikan dipersyarati oleh kemampuan dan minat peserta didik, juga tepat tidaknya situasi belajar dan efektif tidaknya cara mengajar.[19]
Pendidikan pada masyarakat modern atau masyarakat yang tengah bergerak ke arah modern (modernizing), seperti masyarakat Indonesia, pada dasarnya berfungsi memberikan kaitan antara anak didik dengan lingkungan sosial kulturalnya yang terus berubah dengan cepat. Azyumardi Azra menyatakan, bahwa fungsi pokok pendidikan dalam masyarakat modern yang tengah membangun terdiri dari tiga bagian :[20] 1. sosialisasi, 2. pembelajaran (schooling), dan 3. pendidikan (education). Pertama, sebagai lembaga sosialisasi, pendidikan adalah wahana bagi integrasi anak didik ke dalam nilai-nilai kelompok atau nasional yang dominan. Kedua, pembelajaran (schooling) mempersiapkan mereka untuk mencapai dan menduduki posisi sosial ekonomi tertentu, dan karena itu, pembelajaran harus dapat membekali peserta didik dengan kualifikasi-kualifikasi pekerjaan dan profesi yang akan membuat mereka mampu memainkan peran sosial-ekonomis dalam masyarakat. Ketiga, pendidikan merupakan education untuk menciptakan kelompok elit yang pada gilirannya akan memberikan sumbangan besar bagi kelanjutan program pembangunan.[21]

D.    Desain Pendidikan Islam di Era Modern
Perubahan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat baik sosial maupun kultural, secara makro persoalan yang dihadapi pendidikan Islam adalah bagaimana pendidikan Islam mampu menghadirkan desain atau konstruksi wacana pendidikan Islam yang relevan dengan perubahan masyarakat. Kemudian desain wacana pendidikan Islam tersebut dapat dan mampu ditransformasikan atau diproses secara sistematis dalam masyarakat. Persoalan pertama ini lebih bersifat filosofis, yang kedua lebih bersifat metodologis. Pendidikan Islam perlu menghadirkan suatu konstruksi wacana pada dataran filosofis, wacana metodologis, dan juga cara menyampaikan atau mengkomunikasikannya. Dalam menghadapi peradaban modern, yang perlu diselesaikan adalah persoalan-persoalan umum internal pendidikan Islam yaitu: 1. persoalan dikotomik, 2. tujuan dan fungsi lembaga pendidikan Islam, 3. persoalan kurikulum atau materi. Ketiga persoalan ini saling interdependensi antara satu dengan lainnya.
Pertama, Persolan dikotomik pendidikan Islam, yang merupakan persoalan lama yang belum terselesaikan sampai sekarang. Pendidikan Islam harus menuju pada integritas antara ilmu agama dan ilmu umum untuk tidak melahirkan jurang pemisah antara ilmu agama dan ilmu bukan agama. Karena, dalam pandangan seorang Muslim, ilmu pengetahuan adalah satu yaitu yang berasal dari Allah SWT.[22] Mengenai persoalam dikotomi, tawaran Fazlur Rahman, salah satu pendekatannya adalah dengan menerima pendidikan sekuler modern sebagaimana telah berkembang secara umumnya di dunia Barat dan mencoba untuk mengislamkannya – yakni mengisinya dengan konsep-konsep kunci tertentu dari Islam. Lebih lanjut Rahman mengatakan, persoalannya adalah bagaimana melakukan modernisasi pendidikan Islam, yakni membuatnya mampu untuk produktivitas intelektual Islam yang kreatif dalam semua bidang usaha intelektual bersama-sama dengan keterkaiatan yang serius kepada Islam.[23] Syafi'i Ma'arif mengatakan, bila konsep dualisme dikotomik berhasil ditumbangkan, maka dalam jangka panjang sistem pendidikan Islam juga akan berubah secara keseluruhan, mulai dari tingkat dasar sampai ke perguruan tinggi.[24] Untuk kasus Indonesia, IAIN misalnya akan lebur secara integratif dengan perguruan tinggi-perguruan tinggi negeri lainnya. Peleburan bukan dalam bentuk satu atap saja, tetapi lebur berdasarkan rumusan filosofis.
Kedua, perlu pemikiran kembali tujuan dan fungsi lembaga-lembaga pendidikan Islam yang ada. Memang diakui bahwa penyesuaian lembaga-lembaga pendidikan akhir-akhir ini cukup menggembirakan, artinya lembaga-lembaga pendidikan memenuhi keinginan untuk menjadikan lembaga-lembaga tersebut sebagai tempat untuk mempelajari ilmu umum dan ilmu agama serta keterampilan. Tetapi pada kenyataannya penyesuaian tersebut lebih merupakan peniruan dengan pola tambal sulam atau dengan kata lain mengadopsi model yang dilakukan oleh lembaga-lembaga pendidikan umum, artinya ada perasaan harga diri bahwa apa yang bisa dilakukan oleh lembaga-lembaga pendidikan umum dapat juga dilakukan oleh lembaga-lembaga pendidikan agama, sehingga akibatnya beban kurikulum yang terlalu banyak dan cukup berat dan terjadi tumpang tindih. Sebenarnya lembaga-lembaga pendidikan Islam harus memilih satu di antara dua fungsi, apakah mendesain model pendidikan umum Islami yang handal dan mampu bersaing dengan lembaga-lembaga pendidikan yang lain, atau mengkhususkan pada desain pendidikan keagamaan yang berkualitas, mampu bersaing, dan mampu mempersiapkan mujtahid-mujtahid yang berkualitas.
Ketiga, persoalan kurikulum atau materi Pendidikan Islam, meteri pendidikan Islam terlalu dominasi masalah-maslah yang bersifat normatif, ritual dan eskatologis. Materi disampaikan dengan semangat ortodoksi keagamaan, suatu cara dimana peserta didik dipaksa tunduk pada suatu meta narasi yang ada, tanpa diberi peluang untuk melakukan telaah secara kritis. Pendidikan Islam tidak fungsional dalam kehidupan sehari-hari, kecuali hanya sedikit aktivitas verbal dan formal untuk menghabiskan materi atau kurikulum yang telah diprogramkan dengan batas waktu yang telah ditentukan.[25]
  Mencermati persoalan yang dikemukakan di atas, maka perlu menyelesaikan persoalan internal yang dihadapi pendidikan Islam secara mendasar dan tuntas. Sebab pendidikan sekarang ini juga dihadapkan pada persoalan-persoalan yang cukup kompleks, yakni bagaimana pendidikan mampu mempersiapkan manusia yang berkualitas, bermoral tinggi dalam menghadapi perubahan masyarakat yang begitu cepat, sehingga produk pendidikan Islam tidak hanya melayani dunia modern, tetapi mempunyai pasar baru atau mampu bersaing secara kompetitif dan proaktif dalam dunia masyarakat modern. Pertanyaannya, adalah desain pendidikan Islami yang bagaimana? Yang mampu menjawab tantangan perubahan ini, antara lain:
Pertama, lembaga-lembaga pendidikan Islam perlu mendesain ulang fungsi pendidikannya, dengan memilih apakah: 1. model pendidikan yang mengkhususkan diri pada pendidikan keagamaan saja untuk mempersiapkan dan melahirkan ulama-ulama dan mujtahid-mujtahid tangguh dalam bidangnya dan mampu menjawab persoalan-persoalan aktual atau kontemporer sesuai dengan perubahan zaman, 2. model pendidikan umum Islami, kurikulumnya integratif antara materi-materi pendidikan umum dan agama, untuk mempersiapkan intelektual Islam yang berfikir secara komprehensif, 3. model pendidikan sekuler modern dan mengisinya dengan konsep-konsep Islam, 4. atau menolak produk pendidikan barat, berarti harus mendesain model pendidikan yang betul-betul sesuai dengan konsep dasar Islam dan sesuai dengan lingkungan sosial-budaya Indonesia, dan 5. pendidikan agama tidak dilaksanakan di sekolah-sekolah tetapi dilaksanakan di luar sekolah, artinya pendidikan agama dilaksanakan di rumah atau lingkungan keluarga dan lingkungan masyarakat berupa kursur-kursus, dan sebagainya.
Kedua, desain pendidikan harus diarahkan pada dua dimensi, yakni : 1. dimensi dialektika (horisontal), pendidikan hendaknya dapat mengembangkan pemahaman tentang kehidupan manusia dalam hubungannya dengan alam atau lingkungan sosialnya. Manusia harus mampu mengatasi tantangan dan kendala dunia sekitarnya melalui pengembangan Iptek, dan (2) dimensi ketundukan vertikal, pendidikan selain menjadi alat untuk memantapkan, memelihara sumber daya alami, juga menjembatani dalam memahamai fenomena dan misteri kehidupan yang abadi dengan maha pencipta. Berarti pendidikan harus disertai dengan pendekatan hati.[26]
Ketiga, sepuluh paradigma yang ditawarkan oleh Djohar, dapat digunakan untuk membangun paradiga baru pendidikan Islam, sebagai berikut : Satu, pendidikan adalah proses pembebasan. Dua, pendidikan sebagai proses pencerdasan. Tiga, pendidikan menjunjung tinggi hak-hak anak. Empat, pendidikan menghasilkan tindakan perdamaian. Lima, pendidikan adalah proses pemberdayaan potensi manusia. Enam, pendidikan menjadikan anak berwawasan integratif. Tujuh, pendidikan wahana membangun watak persatuan. Delapan, pendidikan menghasilkan manusia demokratik. Sembilan, pendidikan menghasilkan manusia yang peduli terhadap lingkungan. Sepuluh, sekolah bukan satu-satunya instrumen pendidikan.[27]
Tiga hal yang dikemukakan di atas merupakan tawaran desain pendidikan Islam yang perlu diupayakan untuk membangun paradigma pendidikan Islam dalam menghadapi perkembangan perubahan zaman modern dan memasuki era millennium ketiga. Karena, kecenderungan perkembangan semacam dalam mengantisipasi perubahan zaman merupakan hal yang wajar-wajar saja. Sebab kondisi masyarakat sekarang ini lebih bersifat praktis-pragmatis dalam hal aspirasi dan harapan terhadap pendidikan. Sehingga tidak statis atau hanya berjalan di tempat dalam menatap persoalan-persoalan yang dihadapi pada era masyarakat modern dan post modern. Untuk itu, Pendidikan dalam masyarakat modern, pada dasarnya berfungsi untuk memberikan kaitan antara anak didik dengan lingkungan sosiokulturalnya yang terus berubah dengan cepat, dan pada saat yang sama, pendidikan secara sadar juga digunakan sebagai instrumen untuk perubahan dalam sistem politik, ekonomi secara keseluruhan.
Pendidikan sekarang ini seperti dikatakan oleh Ace Suryadi dan H.A.R. Tilar, tidak lagi dipandang sebagai bentuk perubahan kebutuhan yang bersifat konsumtif dalam pengertian pemuasan secara langsung atas kebutuhan dan keinginan yang bersifat sementara. Tapi, merupakan suatu bentuk investasi sumber daya manusia (human investment) yang merupakan tujuan utama; pertama, pendidikan dapat membantu meningkatkan keterampilan dan pengetahuan untuk bekerja lebih produktif sehingga dapat meningkatkan penghasilan kerja lulusan pendidikan di masa mendatang. [28] Dengan demikian, orientasi utama pendidikan sebagaimana dinyatakan M. Agus Nuryatno, adalah bagaiamana peserta didik dapat sukses di tengah kompetisi dunia kerja yang keras. Jadu sukses akademik diukur sejauh mana peserta didik sukses di dunia kerja dan menjadi pekerja yang produktif.[29]  
Kedua, pendidikan diharapkan memberikan pengaruh terhadap pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan (equality of education opportunity).[30] Ukuran keberhasilan dalam pendidikan Islam seharusnya lebih luas dari sekedar indikator-indikator kesuksesan kerja seperti telah disebutkan, tetapi sejauh mana peserta didik mampu menjadi warga negara yang kritis, aktif dan bertanggung jawab (critical citizenchip). Orientasi seperti ini dapat diwujudkan jika pendidikan Islam didasarkan pada nilai-nilai etis-humanistik dan pengetahuan yang diajarkan lebih pada pengetahuan emansipatoris daripada teknis dan praktis.  
Selain itu dalam menghadapi era milenium ketiga ini nampaknya pendidikan Islam harus menyiapkan sumber daya manusia yang lebih handal yang memiliki kompetensi untuk hidup bersama dalam era global. Menurut Djamaluddin Ancok, salah satu pergeseran paradigma adalah paradigma di dalam melihat apakah kondisi kehidupan di masa depan relatif stabil dan bisa diramalkan (predictability). Pada milenium kedua orang selalu berpikir bahwa segala sesuatu bersifat stabil dan bisa diprediksi. Tetapi, pada milenium ketiga semakin sulit untuk melihat adanya stabilitas tersebut. Apa yang terjadi di depan semakin sulit untuk diprediksi karena perubahan menjadi tidak terpolakan dan tidak lagi bersifat linier".[31]
Maka, pendidikan Islam sekarang ini desainnya tidak lagi bersifat linier tetapi harus didesain bersifat lateral dalam menghadapi perubahan zaman yang begitu cepat dan tidak terpolakan. Untuk itu, lebih lanjut Ancok yang mengutip Hartanto dan Hendroyuwono, mengatakan bahwa pendidikan (termasuk pendidikan Islam) harus mempersiapkan empat kapital yang diperlukan untuk memasuki millennium ketiga, yakni kapital intelektual, kapital sosial, kapital lembut, dan kapital spritual.[32] Tantangan ini tidak muda untuk penyelesaiannya, tidak seperti membalik telapak tangan. Untuk itu, pendidikan Islam sangat perlu mengadakan perubahan atau mendesain ulang konsep, kurikulum dan materi, fungsi dan tujuan lembaga-lembaga, proses, agar dapat memenuhi tuntatan perubahan yang semakin cepat.

E.  Penutup
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa: (1) Dalam menghadapi perubahan masyarakat modern, secara internal pendidikan Islam harus menyelesaikan persoalan dikotomi, tujuan dan fungsi lembaga pendidikan Islam, dan persolalan kurikulum atau materi yang sampai sekarang ini belum terselesaikan. (2) Lembaga-lembaga pendidikan Islam perlu mendesain ulang fungsi pendidikan, dengan memilih model pendidikan yang relevan dengan perubahan zaman dan kebutuhan masyarakat. (3) Pendidikan Islam didesain untuk dapat membantu meningkatkan keterampilan dan pengetahuan untuk bekerja lebih produktif sehingga dapat meningkatkan kerja lulusan pendidikan di masa datang. Selain itu, perlu desain pendidikan Islam yang tidak hanya bersifat linier saja, tetapi harus bersifat lateral dalam menghadapi perubahan zaman yang begitu cepat. (4) Pendidikan Islam harus mengembangkan kualitas pendidikannya agar memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyarakat yang selalu berubah. Lembaga-lembaga pendidikan Islami harus dapat menyiapkan sumber insani yang lebih handal dan memiliki kompetensi untuk hidup bersama dalam ikatan masyarakat modern.


DAFTAR PUSTAKA

Anas, Azwar, dalam Rekonstruksi Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Departemen Agama: Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam, 2006).
Ancok, Djamaluddin, Membangun Kompotensi Manusia dalam Milenium Ke Tiga, Psikologika, Jurnal Pemikiran dan Penelitian Psikologi, Nomor : 6 Tahun III, UII, 1998.
Azra, Azyumardi, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Melinium Baru (Jakarta: Kalimah, 2001).
--------, dalam Marwan Saridjo, Bunga Rampai Pendidikan Agama Islam, (Jakarta:  Amissco,  1996).
Djohar, Omong Kosong, Tanpa Mengubah UU No. 2/89, Koran Harian "Kedaulatan Rakyat", Tangga, 4 Mei 1999.
Fadjar, A.Malik, Menyiasati Kebutuhan Masyarakat Modern Terhadap Pendidikan Agama Luar Sekolah, Seminar dan Lokakarya Pengembangan Pendidikan Islam Menyongsong Abad 21, IAIN, Cirebon, tanggal, 31 Agustus s/d 1 September 1995.
Freire, Paulo,dkk., Menggugat Pendidikan Fundamental Konservatif Liberal Anarkis, Terj., Omi Intan Naomi, (Jakarta: Pustaka Pelajar, 1999).
Fromm,Erich, The Revolution of Hope : Toward a Humanized Technology, New York : Harper & Raw, 1968, hlm. 5., dalam Syafi'i Ma'arif, Pengembangan Pendidikan Tinggi Post Graduate Studi Islam Melalui Paradigma Baru Yang Lebih Efektif, 1997.
Kuntowijoyo dalam Malik Fajar, Menyiasati Kebutuhan, hlm. 4
Machmud, M.Dimyati, Psikologi Pendidikan, (Yogyakarta, BPFE, 1990).
Mansur, Diskursus Pendidikan Islam (Yogyakarta: Global Pustaka Utama, 2001).
Marimba, Ahmad D., Pengantar Filsafat Pendidikan Islam (Bandung: Al Ma’arif, 1989).
Ma'arif, Ahmad Syafi'i, Pemikiran tentang Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia, Dalam Pendidikan Islam di Indonesia antara Cita dan Fakta, Editor : Muslih Usa, (yogyakarta: Tiara Wacana, 1991). Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kalam Mulia, 2004).
Muhaimin dan Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam, Kajian Filosofis dan Kerangka Dasar Operasionalisasinya (Bandung: Trigenda Karya, 1993).
Nuryatno,  M. Agus, “Isu-Isu Kritis Dalam Pendidikan Islam” dalam Nizar Ali dan Sumedi (Ed.) Antologi Pendidikan Islam (Yogyakarta: Idea Press, 2010).
Rahman, Fazlur, Islam and Modernity, Transformation of an Intellectual Tradition, The University of  Chicago, Chicagi, 1982., terj. Ahsin Mohammad, (Jakarta: Pustaka, 1985).
Soroyo, Antisipasi Pendidikan Islam dan Perubahan Sosial Menjangkau Tahun 2000, dalam Buku : Pendidikan Islam di Indonesia antara Cita dan Fakta, Editor : Muslih Usa, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991).
Sudiro, M.Irsyad, Pendidikan Agama Dalam Masyarakat Modern, Seminar dan Lokakarya Nasional Revitalisasi Pendidikan Agama Luar Sekolah dalam Masyarakat Modern, Cirebon, tanggal, 30-31 Agusrus 1995.
Tilar, H.A.R., Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional Dalam Perspektif Abad 21, Tera Indonesia, Magelang, Cet. I, 1998).
Todaro, Economic in Third Wordl (New York-London, Longman, 1981).






[1] . Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam (Bandung: Al Ma’arif, 1989), hlm. 19.
[2] . Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kalam Mulia, 2004), hlm. 3.
[3] . Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Melinium Baru (Jakarta: Kalimah, 2001), hlm. 5.
[4] . Muhaimin dan Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam, Kajian Filosofis dan Kerangka Dasar Operasionalisasinya (Bandung: Trigenda Karya, 1993), hlm. 138.
[5] . H.A.R. Tilar, Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional Dalam Perspektif Abad 21, Tera Indonesia, Magelang, Cet. I, 1998), hlm.245.
[6] . Todaro, Economic in Third Wordl (New York-London, Longman, 1981), hlm. 532.
[7] . Mansur, Diskursus Pendidikan Islam (Yogyakarta: Global Pustaka Utama, 2001), hlm. 1.
[8] . Azwar Anas dalam Rekonstruksi Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Departemen Agama: Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam, 2006), hlm. 7.
[9]. M.Irsyad Sudiro, Pendidikan Agama Dalam Masyarakat Modern, Seminar dan Lokakarya Nasional Revitalisasi Pendidikan Agama Luar Sekolah dalam Masyarakat Modern, Cirebon, tanggal, 30-31 Agusrus 1995., hlm. 2
[10]. Djamaluddin Ancok, Membangun Kompotensi Manusia dalam Milenium Ke Tiga, Psikologika, Jurnal Pemikiran dan Penelitian Psikologi, Nomor : 6 Tahun III, UII, 1998., hlm.5

[11].  A.Malik Fadjar, Menyiasati Kebutuhan Masyarakat Modern Terhadap Pendidikan Agama Luar Sekolah, Seminar dan Lokakarya Pengembangan Pendidikan Islam Menyongsong Abad 21, IAIN, Cirebon, tanggal, 31 Agustus s/d 1 September 1995, hlm. 3
[12] . Erich Fromm, The Revolution of Hope : Toward a Humanized Technology, New York : Harper & Raw, 1968, hlm. 5., dalam Syafi'i Ma'arif, Pengembangan Pendidikan Tinggi Post Graduate Studi Islam Melalui Paradigma Baru Yang Lebih Efektif, 1997. hlm. 7.
[13] . Ibid., hlm. 7-8.
[14] . Kuntowijoyo dalam Malik Fajar, Menyiasati Kebutuhan, hlm. 4
[15] . Ibid.
[16] . M. Dimyati Machmud, Psikologi Pendidikan, (Yogyakarta, BPFE, 1990), hlm. 3
[17] . Paulo Freire,dkk., Menggugat Pendidikan Fundamental Konservatif Liberal Anarkis, Terj., Omi Intan Naomi, (Jakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hlm. 164-165.
[18] . Ibid., hlm. 165.
[19] . Machmud, Psikologi, hlm.3.
[20] . Azyumardi Azra, dalam Marwan Saridjo, Bunga Rampai Pendidikan Agama Islam, (Jakarta:  Amissco,  1996), hlm. 3
[21] .
[22] . Soroyo, Antisipasi Pendidikan Islam dan Perubahan Sosial Menjangkau Tahun 2000, dalam Buku : Pendidikan Islam di Indonesia antara Cita dan Fakta, Editor : Muslih Usa, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991), hlm. 45.
[23] . Fazlur Rahman, Islam and Modernity, Transformation of an Intellectual Tradition, The University of  Chicago, Chicagi, 1982., terj. Ahsin Mohammad, (Jakarta: Pustaka, 1985), hlm.155-160.
[24] . Ahmad Syafi'i Ma'arif, Pemikiran tentang Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia, Dalam Pendidikan Islam di Indonesia antara Cita dan Fakta, Editor : Muslih Usa, (yogyakarta: Tiara Wacana, 1991), hlm. 150.
[25] . Malik Fajar, Menyiasati Kebutuhan, hlm. 5.
[26] . M. Irsyad Sudiro, Pendidikan Agama dalam Masyarakat Modern, Seminar dan Lokakarya Nasional Revitalisasi Pendidikan Agama Luar Sekolah dalam Masyarakat Modern, (Cirebon, tanggal, 30-31 Agusrus 1995), hlm. 2.
[27] . Djohar, Omong Kosong, Tanpa Mengubah UU No. 2/89, Koran Harian "Kedaulatan Rakyat", Tangga, 4 Mei 1999, hlm. 12.
[28] . Malik Fajar, Menyiasati Kebutuhan, hlm. 1.
[29] . M. Agus Nuryatno, “Isu-Isu Kritis Dalam Pendidikan Islam” dalam Nizar Ali dan Sumedi (Ed.) Antologi Pendidikan Islam (Yogyakarta: Idea Press, 2010), hlm. 119.
[30] . Malik Fajar, Menyiasati Kebutuhan, hlm. 1.
[31] . Djamaluddin Ancok, Membangun Kompotensi , hlm.22
[32] . Ibid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar