Selasa, 14 Juni 2011

PENDIDIKAN PESANTREN


KONTINUITAS TRADISI
DAN MODERNISASI PENDIDIKAN PESANTREN
Oleh: Ali Muttaqin, S.Ag., M.Pd.I [1]


A.      Pengantar
Pesantren adalah lembaga pendidikan Islam bersifat tradisional di Indonesia, yang berlangsung sejak masuknya Islam ke bumi Nusantara hingga era modern saat ini. Karena karakter tradisionalnya itu, pesantren banyak dikritik oleh berbagai kalangan, baik dari luar maupun Muslim sendiri. Akan tetapi pesantren tidak bergeming dan tetap eksis dengan cirikhas tradisionalnya. Padahal, sejak dilancarkannya perubahan atau modernisasi pendidikan Islam di kawasan dunia Muslim, tidak banyak lembaga-lembaga pendidikan tradisional Islam seperti pesantren yang mampu bertahan. Mengapa pesantren bisa survive sampai hari ini?
Tetap bertahannya pesantren secara implisit mengisyaratkan bahwa tradisi-tradisi pesantren dalam segi-segi tertentu masih tetap relevan di tengah arus modernisasi dan perubahan. Untuk menjawab pertanyaan itu, dalam makalah ini diuraikan; proses berdirinya pesantren, tradisi-tradisi pesantren, dan kontinuitas tradisi dan modernisasi pendidikan pesantren. Meskipun  tidak dapat memberikan uraian yang lengkap dan panjang karena keterbatasannya.


B.       Pendahuluan

Pesantren meruapakan lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia, disinyalir sebagai sistem pendidikan yang lahir dan tumbuh melalui kultur Indonesia yang bersifat “indigenous[2] yang diyakini oleh sebagian penulis telah mengadopsi model pendidikan sebelumnya, yaitu pendidikan Hindu dan Budha sebelum kedatangan Islam. [3]
Pesantren juga disebut sebagai lembaga pendidikan Islam di Indonesia yang bersifat tradisional.[4] Pemahaman sistem yang bersifat tradisional adalah lawan dari sistem yang bersifat modern. Pemaknaan sistem tradisional ini berangkat dari pola pengajarannya yang sangat sederhana dan sejak semula timbulnya, yakni pola pengajaran sorogan, bandongan dan wetonan dalam mengkaji kitab-kitab agama yang ditulis oleh para ulama zaman dahulu (ulama salaf) dan kitab-kitab itu di Indonesia dikenal dengan istilah kitab kuning.[5]
Tujuan pendidikan pesantren sebagaimana dirumuskan Mastuhu dari hasil penelitiannya tentang dinamika sistem pendididkan pesantren, adalah meniciptakan dan mengembangkan kepribadian muslim, yaitu kepribadian yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan, berakhlak mulia, bermanfaat bagi masyarakat atau berkhidmat kepada masyarakat dengan jalan menjadi kawula atau abdi masyarakat, yaitu menjadi pelayan masyarakat sebagaimana kepribadian Nabi Muhammad SAW (mengikuti sunnah Nabi), mampu berdiri sendiri, bebas dan teguh dalam kepribadian, menyebarkan agama atau menegakkan Islam dan kejayaan umat Islam di tengah-tengah masyarakat (izzul Islam wal muslimin), dan mencintai ilmu dalam rangka mengembangkan kepribadian Indonesia. Idealnya pengembangan kepribadian yang ingin dituju dalam pendidikan pesantren ialah kepribadian muhsin, bukan sekedar muslim.[6]
Pesantren memiliki beberapa unsur, yang dalam hal-hal tertentu membedakan dengan sistem pendidikan lainnya. Unsur-unsur itu meliputi kiyai, santri, masjid, pondok (asrama) dan pengajian kitab kuning. Keterpaduan unsur-unsur tersebut membentuk suatu sistem dan model pendidikan yang khas, sekaligus membedakan dengan pendidikan yang lainnya.
Zamakhsyari Dhofier, dalam hasil penelitiannya tentang tradisi pesantren tahun 1977-1978 dengan mengambil dua buah pesantren sebagai obyek penelitiannya, yaitu Pesantren Tegalsari Sidoarjo Susukan Semarang dan Pesantren Tebuireng Jombang, menyatakan bahwa ada lima unsur pondok pesantren yang melekat atas dirinya yang meliputi; pondok, masjid, pengajaran kitab-kitab Islam klasik, santri dan kiyai.[7] Dapat dilihat pula dalam hasil penelitian LP3ES Jakarta tahun 1978 dengan mengambil sampel beberapa pesantren di daerah Bogor Jawa Barat, yang dirangkum oleh Marwan Saridjo, bahwa pondok pesantren adalah lembaga pendidikan Islam yang sekurang-kurangnya memiliki tiga unsur, yaitu: kiyai yang mendidik dan mengajar, santri yang belajar, dan masjid tempat mengaji.[8]
Kontinuitas tradisi pesantren adalah kelangsungan sistem pendidikan Islam tradisional yang dilestarikan dan dikembangkan di pesantren sejak awal kemunculannya hingga era modern saat ini. Meskipun model pendidikan tradisional pesantren ini sebenarnya sudah banyak dikritik, baik oleh peneliti dari luar maupun oleh kaum Muslim reformis dan modernis, akan tetapi pesantren tidak bergeming dan tetap bertahan dengan cirikhas tradisionalnya itu.
Kontinuitas juga merupakan gerak dan langkah pesantren dalam memantapkan identitasnya di tengah-tengah kehidupan masyarakat dan bangsa dengan segala dinamikanya, sebagai sub sistem pendidikan nasional. Semakin mantap gerak dan langkah pesantren, semakin besar peran dan sumbangannya dalam pencapaian tujuan pendidikan nasional. Hal yang demikian ini akan tercapai jika pesantren mampu mempertahankan tradisinya di satu pihak dan terbuka bagi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di pihak yang lain dalam rangka memenuhi kebutuhan pendidikan masyarakat pada zamannya.
Karena itulah, diketahui dewasa ini hampir di setiap pesantren terdapat jenis-jenis pendidikan: (1) Pesantren yang hanya mempelajari agama dengan kitab-kitab kuning sebagai sumber belajar dan bersifat non formal, (2) Madrasah (sekolah umum bercirikhas Islam), (3) Sekolah umum, dan sebagian di antaranya (4) Perguruan Tinggi baik agama maupun umum. Ketiga jenis pendidikan yang terakhir ini bersifat formal. Tetapi semuanya berada di dalam satu komunitas pesantren atau dalam kendali kiyai pemilik pesantren, baik secara langsung maupun tidak langsung.

C.      Proses Berdirinya Pesantren
Proses berdirinya sebuah pesantren, biasayan bermula dari kegiatan pengajian yang diselenggarakan di dalam masjid atau mushalla oleh seorang kiyai sebagai guru dengan beberapa orang santri sebagai muridnya. Kiyai tadi sebelumnya sudah pernah mukim bertahun-tahun untuk mengaji dan mendalami pengetahuan agama Islam pada sebuah pesantren atau beberapa pesantren besar dibawah asuhan seorang kiyai atau beberapa orang kiyai yang alim.Atau sebagian kiyai pernah berguru pada ulama-ulama terkenal di Timur Tengah seperti di Mekkah atau Madinah. Kemudian ia bermukim di suatu desa dengan mendirikan langgar yang dipergunakan sebagai tempat untuk shalat berjamaah.
Pada awalnya jamaah hanya terdiri dari beberapa orang saja. Pada setiap menjelang atau selesai shalat berjamaah, sang kiyai biasanya memberikan ceramah pengajian sekedarnya. Isi pengajian biasanya berkisar pada soal rukun Iman, rukun Islam serta akhlak yang lebih banyak menyangkut kehidupan sehari-hari. Berkat caranya yang menarik dan keikhlasannya yang tinggi serta perilakunya yang saleh, lama kelamaan jamaahnya bertambah banyak.Yang datang tidak lagi hanya dari penduduk desa tersebut, tetapi juga orang-orang dari jauh, dari luar desanya.Sebagian dari mereka yang ikut mengaji itu ingin tinggal menetap, dekat dengan kiyai dan bahkan mulai ada beberapa orang tua yang ingin menitipkan anaknya kepada kiyai tadi.Untuk menampung semua itu dibentuklah pondok atau asrama. Dengan demikian, terbentuklah sebuah pesantren yang di dalamnya terdapat kiyai, santri, masjid, pondok dan pengajaran agama.
Mengenai kapan pesantren pertama didirikan, di mana dan oleh siapa, tidak dapat diperoleh keterangan yang pasti. Martin Van Bruinessen dalam hasil penelitiannya menyatakan, bahwapengetahuan kita mengenai asal usul pesantren sangat sedikit. Banyak yang disebut tentang pesantren pada masa awal, namun sebetulnya hanya ekstrapolasi dari pengamatan abad ke-19 M.[9]  Pigeaud dan de Graaf sebagaimana dikutip Bruinessen menyatakan bahwa pesantren merupakan jenis pusat Islam penting kedua, di samping masjid pada periode awal abad ke-16. Mereka menyangka bahwa pesantren adalah komunitas independen yang tempatnya jauh di pegunungan dan berasal dari lembaga sejenis zaman pra-Islam, mandala dan asyrama. Memang terdapat indikasi bahwa tempat-tempat pertapaan pra-Islam tetap bertahan beberapa waktu setelah Jawa diislamkan, bahkan tempat-tempat pertapaan yang baru terus didirikan.[10] Namun tidak jelas, apakah semua itu merupakan lembaga pendidikan tempat pengajaran tekstual berlangsung. Karena itu menurut Bruinessen, sebutan pesantren sebuah istilah yang baru muncul belakangan patut dipertanyakan.[11]
Dari hasil pendataan yang dilakukan oleh Departemen Agama (sekarang Kementerian Agama) tahun 1984-1985 diperoleh keterangan bahwa pesantren tertua didirikan pada tahun 1.062 M atas nama Pesantren Jan Tampes II di Pamekasan Madura. Tetapi hal ini diragukan, karena tentunya ada Pesantren Jan Tampes I yang lebih tua, dan dalam buku Departemen Agama tersebut banyak dicantumkan pesantren tanpa tahun pendirian, dan boleh jadi memiliki usia yang lebih tua.[12]
Beberapa catatan Karel A. Steenbrink mengenai asal usul sistem pesantren, dinyatakan bahwa secara terminologis  pendidikan pesantren berasal dari India. Sebelum proses penyebaran Islam, sistem tersebut telah dipergunakan secara umum untuk pendidikan dan pengajaran agama Hindu di Jawa. Setelah Islam masuk dan tersebar di Jawa, sistem tersebut kemudian diambil oleh Islam.Istilah pesantren sendiri seperti halnya mengaji, bukanlah berasal dari Istilah Arab, melainkan dari India.Demikian pula istilah pondok, langgar di Jawa, surau di Minangkabau dan rangkang di Aceh bukanlah merupakan istilah Arab, tetapi dari istilah yang terdapat di India.[13]
Di samping berdasarkan alasan terminologi tersebut, persamaan bentuk antara pendidikan Hindu di India dan pesantren dapat dianggap sebagai petunjuk untuk menjelaskan asal-usul sistem pendidikan pesantren. Persamaan itu dalam penyerahan tanah oleh Negara bagi kepentingan agama yang terdapat dalam tradisi Hindu. Para pengarang menyatakan, desa perdikan[14] sebagai sarana kesinambungan pesantren dengan lembaga keagamaan pra-Islam. Selanjutnya, beberapa unsur dapat diketemukan baik dalam sistem pendidikan Hindu maupun pesantren di Indonesia yang tidak dijumpai dalam sistem pendidikan Islam yang asli di Makkah. Unsur tersebut antara lain seluruh sistem pendidikannya bersifat agama, guru tidak mendapat gaji, penghormatan yang besar terhadap guru, dan para murid yang pergi meminta-minta ke luar lingkungan pondok. Letak pesantren yang didirikan di luar kota, data dijadikan alasan untuk membuktikan asal-usul pesantren dari Hindu.[15]
Untuk memperkuat argumentasi bahwa sistem pendidikan pesantren merupakan adaptasi dari sistem pendidikan yang telah berkembag sebelumnya, dengan melihat pada dua hal: Pertama, asal-usul perkataan “pesantren” berakar dari kata santri dengan awalan ”pe” dan akhiran ”an”. Istilah tersebut berasal kata India Shastri, berarti orang-orang yang tahu buku-buku suci Agama Hindu, atau seorang sarjana ahli kitab suci Agama Hindu. Kata Shastri sendiri berasal dari kata shastra yang berarti buku-buku suci, buku-buku Agama atau pengetahuan.
Kedua, pesantren memiliki hubungan historis dengan Timur Tengah. Terkait dengan pengaruh Timur Tengah ini sudah banyak yang membuktikan terutama mereka yang melakukan ibadah haji di Makah dan Madinah. Makah dan Madinah bagi ulama Indonesia tidak semata tempat untuk melakukan ibadah haji tetapi tempat untuk mencari ilmu, terutama dengan menghadiri pengajian di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi. Kedua pendapat ini saling mengisi dan pesantren memang tidak bisa dilepaskan dari unsur-unsur Hindu yang sudah lebih awal ada di Indonesia dan unsur-unsur Islam Timur Tengah di mana Islam berasal.

D.      Tradisi Pesantren
Unsur-unsur penting tradisi pesantren sebagai lembaga pendidikan tradisional Islam, sebagaimana digambarkan Bruinessen dalam bukunya Kitab Kuning: Pesantren dan Tarekat, adalah: Pertama, peranan dan kepribadian kiyai yang kharismatik dan sangat menentukan perkembangan pesantren.  Kiyai adalah seseorang yang dituakan karena kedalaman ilmunya dan bobot ibadahnya kepada Allah Swt. Kiyai sebagai pemimpin tertinggi di pesantren memiliki kewibawaan yang hamper mutlak. Di lingkungan pesantren tidak ada orang lain yang lebih dihormati daripada kiyai.[16] Betapapun hebatnya prestasi akademik seseoarang warga pesantren, tetap saja harus tunduk pada kiyai. Dalam budaya pesantren, kiyai tidak boleh dikalahkan orang lain hanya karena prestasi bidang tertentu.[17]
Kedua, sikap hormat, ta’zim dan kepatuhan mutlak kepada kiyai adalah salah satu nilai pertama yang ditanamkan pada setiap santri. Kepatuhan itu diperluas lagi, sehingga mencakup penghormatan kepada para ulama sebelumnya, ulama yang mengarang kitab-kitab yang dipelajarinya. Kepatuhan ini bagi pengamat luar, tampak lebih penting dari pada menguasai ilmu, tetapi bagi kiyai hal itu merupakan bagian integral dari ilmu yang akan dikuasai. Hasyim Asya’ari, founding father NU, dan pesantren Tebuireng Jombang, misalnya dikenal sangat mengagumi tafsir Muhammad Abduh, namun beliau tidak suka santrinya membaca tafsir tersebut. Keberatannya bukan karena rasionalisme Abduh, tetapi ejekan yang ditunjukkannya kepada ulama tradisional.[18]
Ketiga, pengajaran agama dengan menggunakan kitab-kitab berbahasa Arab klasik (kitab kuning), dengan penyampaian lisan oleh kiyai. Kitab dibacakan keras-keras oleh kiyai di depan sekelompok santri, sementara santri-santri yang memegang kitabnya sendiri mencatat sebagaimana bacaan dan penjelasan sang kiyai, baik dari segi bahasa (lughawi), maupun pengertian (ma’nawi). Santri boleh jadi mengajukan pertanyaan, tetapi biasanya terbatas pada konteks sempit sisi kitab itu.Jarang sekali ada usaha menghubungkan uraian-uraian kitab dengan hal-hal kongkrit, atau situasi kontemporer (realitas kehidupan sekarang). Kiyai jarang menanyakan apakah santri benar-benar memahami kitab yang dibacakan untuknya, kecuali pada tingkat pemahaman bahasa (lughawi).
Keempat, pemberian ijazah (pengesahan) yang diberikan secara lisan oleh kiyai kepada para santri yang telah menamatkan kitab-kitab yang dipelajarinya. Setelah itu mereka bisa berpindah ke pesantren lain untuk belajar kitab yang lain. Banyak kiyai yang terkenal sebagai spesialis sejumlah kitab tertentu. Pada umumnya, di samping kiyai mengajarkan kitab-kitab khusus kepada santrinya, juga mengadakan pengajian mingguan untuk umum di mana dibahas kitab-kitab yang relatif sederhana.
Kelima, kandungan materi pengajaran berkisar pada: ilmu alat, yakni  gramatika bahasa Arab (nahw - Sharf), ilmu tauhid (‘aqidah) yang berkisar pada paham Asy’ariyah, fiqih mazhab Syafi’i dan sedikit menerima tiga mazhab lain, dan materi akhlak - tasawuf dari Al-Ghazali dan sejenisnya. Sebagian besar kitab-kitab yang dipelajari di pesantren, termasuk kitab-kitab mutakhir berkisar pada tiga katagori bidang ilmu yang disebutkan terakhir.
Di sisi lain, ulama modernis tidak mau terikat dengan sistem mazhab yang kaku dan kesufian al-Ghazali. Mereka menyerukan pembukaan kembali pintu ijtihad dan aktivitas sosial dan politik. Sementara dalam tradisi pesantren karya-karya al-Ghazali dianggap sebagai prestasi keilmuan dan spiritual sangat tinggi; kaum modernis dan fundamentalis memilih Ibnu Taimiyah sebagai idolanya (yang karya-karyanya dilarang dibaca dipesantren).
Kebanyakan kiyai hanya mengajarkan kitab kuning, tetapi tidak sedikit yang telah menambah kahazanah Islam tradisioanl dengan mengarang kitab sendiri. Ada perbedaan besar antara karya ulama tradisional dengan ulama modernis dan reformis. Ulama modernis menulis karyanya dengan bahasa Indonesia dengan huruf latin, kalangan reformis membaca karya ulama-ulama Arab, biasanya melalui terjemahan bahasa Indonesianya. Sementara ulama tradisional menulisnya dengan bahasa Arab, karena dianggap menambah nilai kehormatannya. Kalaupun karya itu ditulis dengan bahasa setempat, namun tetap memakai huruf Arab. Penulisan dengan huruf Arab inilah yang menjadi ciri penting yang membedakan antara ulama modernis dan tradisional. Menurut Bruinessen, sekarang terdapat lebih dari 500 judul karya ulama tradisional Indonesia, yang isinya beraneka ragam; dari terjemahan sederhana sampai syarah dan hasyiyah canggih terhadap teks Arab.[19]
Menurut laporan hasil penelitian Steenbrink sebagaimana dikutip Abdul Munir Mulkan, setidaknya terdapat 54 jenis kitab yang terdiri dari; fiqih (35%), kalam (19%), bahasa (28%), tasawuf (16%), dan tafsir (2%).Seluruhnya merupakan kitab yang ditulis pada abad pertengahan jauh sebelum zaman keemasan Islam. Satu abad kemudian, seperti laporan hasil penelitian  Bruinessen terhadap 46 pesantren, bukan saja komposisi kurikulum di atas mengalami perubahan berarti, tetapi usul fiqih mulai dimasukkan sebagai kurikulum.[20]
Hasil penelitian Bruinessen yang juga dikutip Mulkan, kitab-kitab populer di 46 pesantren meliputi 116 jenis kitab. Komposisi kitab tersebut terdiri dari; fiqih (25; 21%), kalam (14; 12%), bahasa (21; 18%), tasawuf (13; 11%), tafsir (10; 9%). Beberapa kitab baru antara lain; usul fiqih (7; 6%), hadits (15; 13%), akhlak (6; 5%), sejarah (3; 3%), mantiq (2; 2%). Dari berbagai kitab yang dipakai di pesantren, sekitar 50% adalah karya tulis atau terjemahan ulama asia tenggara.[21]
Menurut Mulkan, dalam rentang waktu sekitar satu abad di atas, beberapa perubahan penting kurikulum pesantren yang patut dicatat, antara lain adalah dimasukkannya usul fiqih dan mantiq. Namun demikian, masih harus dikaji lanjut mengenai bagaimana kedua bidang ilmu ini diperlakukan di dunia pesantren. Setidaknya keduanya memberi peluang pengembangan tradisi intelektual kritis jika tidak terperangkap pada dimensi kognisi semata.[22]
Di samping kelima unsur tradisi sebagaimana disebutkan, pesantren juga kental dengan nafas sufistik dan ubudiyah. Ibadah fardlu dilengkapi dengan ibadah-ibadah sunnah dan zikir, wirid atau ratib. Banyak kiyai yang berafiliasi dengan tarekat dan mengajarkannya kepada para pengikutnya ibadah dan amalan sufistik yang khas. Seperempat dari hasil karangan ulama tradisional terdiri dari kitab-kitab tasawuf dan akhlak. Nabi dan keluarganya (ahl al-bait) sangat dimulyakan dan menjadi obyek sejumlah shalawat. Para wali pun sangat dimulyakan dan pertolongannya sering diminta. Mengunjungi makam para wali dan sejumlah kiyai merupakan bagian penting dari acara tahunan (haul) untuk memperingati ulang tahun kematian kiyai pendirinya.

E.       Kontinuitas Tradisi dan Modernisasi Pendidikan
Di Indonesia, modernisasi pendidikan paling awal tidak bersumber dari kalangan kaum Muslim sendiri. Sistem pendidikan modern pertama kali, yang pada gilirannya mempengaruhi sistem pendidikan Islam, justru diperkenalkan oleh pemerintah kolonial Belanda. Ini bermula dari perluasan kesempatan bagi pribumi dalam paruh kedua abad ke-19 untuk mendapatkan pendidikan.  Program ini didirikan pemerintah kolonial Belanda dengan mendirikan volkschoolen, sekolah rakyat, atau sekolah desa (nagari) dengan masa belajar selama 3 tahun, di beberapa tempat di Indeonesia sejak dasawarsa 1870-an.
Tetapi dalam perkembangan awalnya sekolah ini cukup mengecewakan.Pemerintah Belanda menilai sekolah desa ini tidak berhasil mencapai tujuan seperti yang mereka harapkan, karena tingkat putus sekolah sangat tinggi dan mutu pembelajarannya sangat rendah. Di sisi lain, kalangan pribumi, khususnya di Jawa, terdapat resistansi yang kuat terhadap sekolah-skolah ini, yang mereka pandang sebagai bagian integral dari rencana pemerintah kolonial Belanda untuk “membelandakan” anak-anak mereka.
Respon yang paling baik terhadap sekolah nagari muncul di Minangkabau, sehingga banyak surau yang merupakan lembaga pendidikan tradisional Islam ditransformasikan secara formal menjadi sekolah-sekolah nagari. Sekolah-sekolah nagari yang semula merupakan surau tersebut, ternyata tidak sepenuhnya mengikuti kurikulum yang digariskan pemerintah belanda, sehingga mendorong Belanda untuk melakukan standardisasi kurikulum, metode pengajaran dan lain-lain. Satu hal penting yang dari eksperimen Belanda dengan sekolah nagari itu, dalam kaitannya dengan sistem dan kelembagaan pendidikan Islam, adalah transformasi sebagian surau di Minangkabau menjadi sekolah nagari model Belanda. Hal ini berbeda dengan masyarakat Muslim di pulau Jawa, yang umumnya memberikan respon dingin terhadap sekolah-sekolah nagari itu.
Selain sistem pendidikan Belanda, di kalangan kaum Muslim, yang pertama kali melakukan modernisasi pendidikan Islam adalah kaum reformis dan modernis Muslim. Gerakan reformis muslim yang menemukan momentumnya sejak awal abad ke-20 berpendapat, bahwa untuk menjawab tantangan kolonialisme dan Kristen diperlukan reformasi sistem pendidikan Islam. Dalam konteks inilah muncul dua bentuk sistem kelembagaan pendidikan modern Islam; pertama, sekolah-sekolah umum model Belanda, tetapi diberi muatan pengajaran Islam; kedua, madrasah-madrasah modern yang secara terbatas mengadopsi substansi dan metodologi pendidikan modern Belanda. Dalam bentuk pertama, bisa menyebut misalnya Sekolah Adabiyah yang didirikan Abdullah Ahmad di Padang tahun 1909, atau sekolah-sekolah model Belanda yang didirikan organisasi semacam Muhamadiyah. Sedangkan bentuk kedua adalah Sekolah Diniyah Zainuddin Labay al-Yunusi, atau Sumatra Thawalib, atau madrasah yang didirikan al-Jami’at al-Khairiyah, kemudian juga madrasah yang didirikan organisasi al-Irsyad.
Sistem pendidikan tradisional Islam, seperti pesantren dan surau terhadap kemunculan sistem pendidikan modern Islam ini, Karel A. Steenbrink menyebutnya sebagai “menolak sambil mengikuti” atau “menolak dan mencontoh”. Kalangan pesantren menolak paham dan asumsi-asumsi kaum reformis. Tetapi pada saat yang sama, dalam batas-batas tertentu, mereka mengikuti jejak dan langkah kaum reformis. Karena itulah pesantren melakukan sejumlah akomodasi dan penyesuaian yang mereka anggap tidak hanya mendukung kontinuitas pesantren itu sendiri, tetapi juga bermanfaat bagi para santri, seperti penjenjangan, kurikulum yang lebih jelas dan sistem klasikal. Meskipun demikian, penyesuaian ini dilakukan tanpa mengubah secara signifikan substansi pesantren itu.
Dalam kaitan ini, sejumlah pesantren merespon terhadap ekspansi pendidikan Belanda dan pendidikan modern Islam. Sebut saja pesantren Mambaul Ulum Surakarta, pesantren Tebuireng Jombang, pesantren Bahrul Ulum Tambakberas Jombang. Pesantren-pesantren itu sejak dasawarsa 1920-an telah memasukkan mata pelajaran membaca dan menulis latin, aljabar dan berhitung ke dalam kurikulumnya. Bahkan, pesantren Tebuireng Jombang pada tahun 1916 mendirikan “Madrasah Salafiyah” yang mengadopsi sistem pendidikan modern Islam dan memasukkan beberapa pelajaran umum, seperti berhitung, bahasa melayu, ilmu bumi dan menulis dengan huruf latin ke dalam kurikulumnya. Model ini kemudian diikuti oleh banyak pesantren lainnya.Salah satunya adalah pesantren Darul Ulum Rejoso Jombang, tahun 1927 mendirikan madrasah yang memasukkan mata pelajaran non-keagamaan dalam kurikulumnya.Selanjutnya pada tahun 1965 pesantren tersebut mendirikan Universitas Darul Ulum Jombang dengan 5 fakultas umum dan 1 fakultas agama.
Pada perkembangan pesantren selanjutnya, sejumlah pesantren terus bergerak maju dalam meresponi perkembangan pendidikan modern. Semakin banyak pesantren yang mendirikan madrasah dalam kompleks pesantren masing-masing, dan mendaftarkannya ke pemerintah (Departemen Agama) untuk memperoleh pengakuan atau legalitas dari pemerintah. Dengan cara ini, pesantren tetap berfungsi sebagai pesantren dalam pengertian aslinya, yakni tempat pendidikan dan pengajaran agama bagi para santri (umumnya mukim) yang ingin memperoleh pengetahuan agama secara mendalam, dan sekaligus merupakan madrasah bagi mereka yang mendapat pengakuan dari pemerintah, dan dengan demikian, memiliki akses lebih luas tidak hanya melanjutkan pendidikan, tetapi juga dalam lapangan kerja. Dalam perkembangan selanjutnya, tidak sedikit pesantren yang memiliki lebih banyak murid madrasah daripada santri yang mondok di pesantren untuk melakukan tafaqquh fi al-din.
Lebih jauh lagi, beberapa pesantren dalam memodernisasi pendidikannya tidak terhenti hanya mengembangkan madrasah, tetapi juga mengembangkan sekolah-sekolah umum di bawah Departemen Pendidikan Nasional. Dengan kata lain, pesantren bukan hanya mengembangkan madrasah, tetapi juga sekolah-sekolah umum yang mengikuti sistem dan kurikulum pemerintah.

F.       Kesimpulan
Kontinuitas tradisi pesantren adalah kelangsungan sistem pendidikan Islam tradisional yang dilestarikan dan dikembangkan di pesantren sejak awal kemunculannya hingga era modern saat ini.Tradisi pesantren yang dominan dan paling menentukan eksistensi pesantren di samping kiyai adalah tradisi keilmuan pesantren, yang dibangun sedari dulu oleh para ilmuan Islam dengan kitab kuning sebagai referensi keilmuannya. Tradisi kitab kuning ini yang menjadi ruh pesantren sekaligus pembeda antara pesantren dengan lembaga pendidikan Islam lainnya yang ada di nusantara. Dari sini dapat dipahami bahwa tradisi keilmuan pesantren adalah tradisi kitab kuning itu sendiri.
Di tengah-tengah gencarnya arus perubahan dan modernisasi di berbagai bidang kehidupan, terutama bidang pendidikan, sejumlah pesantren terus bergerak maju dalam meresponi perkembangan pendidikan modern. Di satu sisi pesantren tetap mempertahankan tradisi kepesantrenannya, namun di sisi lain mengadopsi sistem pendidikan modern, dengan membuka lembaga-lembaga pendidikak formal, baik madrasah maupuan sekolah umum, bahkan sebagian pesantren ada yang mendirikan perguruan tinggi umum di lingkungan pesantren.
Upaya-upaya pesantren yang demkian ini yang menjadikannya mampu bertahan dalam menghadapi modernisasi dan perubahan, terutama di bidang pendidikan. Meskipun pada mulanya pesantren bersikap enggan menerima perubahan-perubahan atau modernisasi, tetapi kemudian secara gradual melakukan akomodasi dan konsesi tertentu untuk kemudian menemukan pola yang dipandangnya cukup tepat guna menghadapi modernisasi dan perubahan yang kian cepat dan berdampak luas. Tetapi semua akomodasi dan penyesuaian itu dilakukan pesantren tanpa mengorbankan esensi dan hal-hal dasar dalam eksistensi pesantren.


DAFTAR PUSTAKA

Bruinessen,Martin Van, Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat, Tradisi-Tradisi Islam di Indonesia, Bandung: Mizan, 1995.
Dhofier,Zamakhsyari,Tradisi  Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kiyai,  Jakarta: LP3ES, 1984.
Dirdjosandjoto, Pradjarta, Memelihara Umat Kiai  Pesantren-Kiai Langgar di Jawa,  Yogyakarta: LKiS, 1999.
Ghazali,M. Bahri, Pendidikan Pesantren Berwawasan Lingkungan, Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2001.
Madjid,Nurcholish, Bilik-Bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan, Jakarta: Paramadina, 1997.
Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren:  Suatu Kajian Tentang Unsur dan Nilai  Sitem Pendidikan Pesantren, Jakarta: INIS, 1994.
Maunah,Binti,Tradisi Intelektualitas Santri Dalam Tantangan dan Hambatan Pendidikan Pesantren di Masa Depan,  Yogyakarta: Teras, 2009.
Mulkan, Abdul Munir, “Re-tradisi Intelektualitas Pesantren” dalam Abdul Munir Mulkan  dkk.,  Religiusitas Iptek, Yogyakarta:Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 1998.
Saridjo,Marwan, Sejarah Pondok Pesantren di Indonesia,  Jakarta: Dharma Bhakti, 1980.
Steenbrink,Karel A.,Pesantren Madrasah Sekolah: Pendidikan Islam Dalam Kurun Moderen, Yogyakarta: LP3ES, 1985.


[1] Ali Muttaqin: Dosen STAI Bahrul Ulum Tambakberas Jombang Jawa Timur, Sekarang sedang menempuh pendidikan Program Doktor (S3) Kependidikan Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
[2][2] . Indigenous: mengandung makna keaslian Indonesia. Menurut Azyumardi Azra, sebagai lembaga indigenous, pesantren musncul dan berkembang dari pengalaman sosiologis masyarakat lingkungannya. Dengan kata lain, pesantren memiliki keterkaitan erat dengan yang tidak terpisahkan dengan komunitas lingkungannya.Azyumardi Azra, Pengantar  dalamNurcholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan (Jakarta: Paramadina, 1997), hlm. xxv
[3] . Binti Maunah, Tradisi Intelektualitas Santri Dalam Tantangan dan Hambatan Pendidikan Pesantren di Masa Depan (Yogyakarta: Teras, 2009), hlm. 1.
[4] . Tradisional dalam batasan ini juga menunjuk bahwa pesantren telah berkembag sejak ratusan tahun (300 – 400 tahun) yang lalu dan telah menjadi bagian yang mendalam dari sistem kehidupan sebagian besar umat Islam Indonesia, yang merupakan golongan mayoritas bangsa Indonesia, dan telah mengalami perubahan dari masa ke masa sesuai dengan perjalanan hidup umat, bukan tradisioanl dalam arti tetap atau statis tanpa mengalami penyesuaian., Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren:  Suatu Kajian Tentang Unsur dan Nilai  Sitem Pendidikan Pesantren (Jakarta: INIS, 1994), hlm. 55-56.
[5]. M. Bahri Ghazali, Pendidikan Pesantren Berwawasan Lingkungan (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2001), hlm. 29.
[6] . Dalam numenklatur Islam dikenal istilah-istilah: mukmin, muslim dan muhsin, hang berbeda secara gradual: Mukmin: sekedar beriman kepada Allah dan Muhammad SAW. sebagai Nabi dan Rasul, tetapi belum tentu mengamalkannya. Muslim: beriman, mengamalkan secara konsekuen dan selalu merasa dekat dengan Allah dan Rasul-Nya. Muhsin: memiliki perilaku yang lebih mendalam dari muslim. Pengabdiannya kepada Tuhan dilakukan semata-mata karena rasa cinta kepada-Nya tanpa ada kepentingan dan takut, dan rasa cinta itu sudah mendarah daging merupakan bagian dari biological mechanism-nya.Istilah-istilah tersebut sebanding dengan isntilah-istilah Iman (Mukmin), Islam (Muslim), dan Ihsan (Muhsin).  Baca Mastuhu, Dinamika Sistem, hlm. 55-56.   
[7] . Zamakhsyari Dhofier, Tradisi  Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kiyai (Jakarta: LP3ES, 1984), hlm. 44-45.
[8] . Marwan Saridjo, Sejarah Pondok Pesantren di Indonesia  (Jakarta: Dharma Bhakti, 1980), hlm. 9.
[9] . Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat, Tradisi-Tradisi Islam di Indonesia(Bandung: Mizan, 1995), hlm. 23.
[10] . Menurut Sejarah Banten, Maulana Hasanuddin, Raja Muslim Banten pertama, mendirikan pertapaan baru di Gunung Pinang atas anjuran ayahnya Sunan Gunung Jati. Ibid., hlm. 24.
[11] . Ibid., hlm. 24
[12] . Mastuhu,  Dinamika, hlm. 19.
[13] . Karel A. Steenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah: Pendidikan Islam Dalam Kurun Moderen (Yogyakarta: LP3ES, 1985), hlm. 20-21.
[14]. Desa Perdikan: yang dibebaskan pajak dan kerja rodi, tetapi penghasilannya harus dimanfaatkan untuk melaksanakan tugas sacral seperti pemeliharaan makam-makam keramat, merupakan lembaga yang sudah cukup tua. (Bruinessen, Kitab), hlm. 24.
[15] . Ibid., 21.
[16] . Pradjarta Dirdjosandjoto, Memelihara Umat Kiai  Pesantren-Kiai Langgar di Jawa (Yogyakarta: LKiS, 1999), hlm. 156.
[17] . Binti Maunah, Tradisi, 2.
[18] . Martin Van, Kitab Kuning, hlm. 18.
[19] . Martin Van, Kitab Kuning, hlm. 20.
[20]. Abdul Munir Mulkan “Re-tradisi Intelektualitas Pesantren” dalam Abdul Munir Mulkan  dkk.,  Religiusitas Iptek (Yogyakarta:Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 1998), hlm.154.
[21] . Ibid., hlm. 155.
[22] . Ibid.